Intelligence Quotient (IQ) merupakan ukuran
kecerdasan intelektual seseorang. Diperoleh dari beberapa macam test
dalam skala tertentu. Antara lain menggunakan skala Stanford-Binet dan
skala Cattell, dan ada beberapa test dengan menggunkan skala acuan yang
berbeda. Hasil test IQ digunakan dalam banyak konteks, antara lain
sebagai prediktor tingkat pendidikan atau kebutuhan khusus.
Emotional Quetiont (EQ) merupakan ukuran
kemampuan seseorang untuk mengatasi atau memanage emosi pada diri
sendiri juga pada hubungannya dengan orang lain. Yaitu memotivasi diri
sendiri , empati pada orang lain secara mendalam, kemampuan untuk
mengungkapkan dan memahami perasaan, mengendalikan amarah, kemampuan
adaptasi dan kemandirian, kemampuan dalam memecahkan suatu masalah dan
ketekunan, rasa setiakawan (toleransi) dan hormat. Atau bisa juga
disebut ketrampilan sosial atau kecerdasan sosial. Yaitu lebih kepada
kemampuan sosialisasi dan membentuk jaringan kepada orang lain.
Banyak orang berpendapat bahwa jika seseorang mempunyai kecerdasan intelektual atau (IQ) tinggi adalah jaminan kesuksesan di masa depan
dibanding yang lebih rendah. Itu yang membuat kebanyakan kurikulum
sekolah di tanah air lebih mementingkan IQ daripada EQ. Bahkan
pengalaman si Sulung kami ketika Taman Kanak-Kanak Besar (TK-B)
diwajibkan mengikuti test IQ pada salah satu Psikolog yang telah
ditunjuk untuk salah satu syarat masuk Sekolah Dasar (SD) tertentu.
Hasilnya sungguh menggembirakan karena masuk ke tingkat intelektual
tinggi yaitu dengan skor 125 masuk tingkat cerdas (dari skor tertinggi
127 ke atas masuk jenius)
Akan tetapi pada kenyataannya, banyak kasus terjadi dimana seseorang
yang mempunyai tingkat intelektual tinggi justru tersisih dari orang
yang mempunyai tingkat intelektual lebih rendah. Ternyata IQ tinggi
bukan sebuah jaminan meraih kesuksesan. Bahkan pada beberapa referensi
membuktikan bahwa tingkat emosional seseorang lebih mampu memperlihatkan
kemampuan seseorang meraih kesuksesan.
Psikolog si Sulung mengungkapkan bahwa IQ seseorang tidak akan banyak berkembang.
Apabila seseorang dilahirkan dengan IQ rata-rata maka tidak akan
bisa bertambah atau berkurang, hasilnya tetap pada interval skala
nilai tersebut. Berbeda dengan kemampuan emosional seseorang yang dapat dikembangkan seumur hidupnya yang
dipengaruhi oleh pertumbuhan dari lingkungan keluarga. Dalam tampilan
gambar yang saya pinjam dari google juga membuktikan bahwa 80% orang
sukses karena EQ bukan IQ-nya. Hasil ini berdasarkan data survey orang
sukses di dunia.
Pengalaman si kakak di Indonesia: IQ lebih penting daripada EQ?
Si sulung berumur 6 tahun 9 bulan sebelum kami ‘boyongan’ ke Swedia
sekitar 6 bulan lalu. Sekolah di SD kelas 1 semester ke-2, dengan
prestasi yang lumayan terlihat dari nilai raportnya. Dia juga sang ketua
kelas loh, dipilih wali kelasnya karena suaranya lantang dan berani
maju ke depan untuk menyiapkan teman-teman ketika datang ataupun
menjelang sekolah usai. Walau tubuhnya kecil namun berani dan ‘dewasa’ ,
kata wali kelasnya ‘kecil-kecil cabe rawit’
Seperti kebanyakan teman-temannya, si kakak juga ikut les sepulang
sekolah. Ada 3 les yang diikutinya, atas kemauan dan pilihannya
sendiri.. walaupun pada akhirnya lebih banyak ngadat karena terlalu
asyik main bersama anak tetangga sepulang sekolah. Tapi kami tidak
memaksa untuk tetap berangkat, jadinya ya tiap bulan memberi ‘uang
sukarela’ ke tempat lesnya. Sebenarnya dia minta diikuti les yang
lainnya, tapi kami tidak ijinkan, selain waktu bermain kurang juga
karena dia suka ‘angot-angotan’. Dia awal saja semangat, selebihnya
mulai malas deh..capek kan sudah bayar uang muka les lumayan besar
ternyata tidak diterusin. Seperti waktu si kakak ingin belajar karate..
baru masuk di hari sabtu miggu pertama, sabtu depan sudah ngadat.
Otomatis si kakak hanya ikut 3 les yaitu les bahasa inggris di lembaga
Inggris-Indonesia seminggu 2 kali, di komplek tempat tinggal kami. Les
ngaji Iqra dengan memanggil guru mengaji setiap 2 kali seminggu dan
les baca tulis hitung juga dengan guru privat. Sebelumnya kami sudah
berusaha untuk mengajarkan semua sendiri, namun si kakak ingin seperti
teman-temannya yang belajar dengan guru les. Tapi kami setiap hari juga
tetap menemani dan membantu memecahkan soal dalam mengerjakan PR dan
membimbing ketika mau ujian. Apalagi sekarang pelajaran SD sudah mulai
susah. Pelajaran SD kelas 1 seperti kelas 3 atau 4 waktu saya sekolah
dulu. Belum lagi mata pelajaran yang seabreg banyaknya dan banyak
hafalan. Otak harus kerja ekstra keras. Alhamdulillah si kakak
cukup pintar untuk bisa mengimbangi pelajaran di sekolah, walau nilai
bahasa Sundanya selalu minim. Tapi bukan masalah besar bagi saya karena
sayapun tidak bisa mengajarkan bahasa Sunda padanya, maklum orang Jawa
tulen..
Pernah dia ingin ikut les kumon seperti beberapa teman main yang tinggal
dekat rumah, namun saya berpikir ulang karena sudah cukup banyak waktu
untuk belajar. Padahal dia juga perlu waktu bermain yang cukup
mengingat umurnya dan sudah belajar di sekolah setiap pagi. Pernah suatu
kali minta juga les renang, tapi karena waktunya bersamaan dengan les
yang lain akhirnya sepakat setiap akhir pekan kami menemani
berenang setiap dia minta, dan si adikpun bisa ikut bermain disana. Jadi
tidak ada jadwal pasti untuk berenang 2 kali seminggu.
Pada umumnya, seorang guru lebih banyak memberikan materi dan murid
sebagai penerima materi. Soal di sekolah, PR atau ujian yang selalu
diberikan. Atau sistem pengajaran satu arah. Hanya murid yang berani
yang bisa berprestasi atau berdiskusi untuk mengungkapkan pendapat.
Pengalaman si kakak di luar negeri (Swedia): EQ lebih penting dari IQ?
Bulan maret kami pindah ke Swedia, dan si kakak belum berumur 7 tahun
waktu itu. Mengikuti syarat dan ketentuan pendidikan disini sebelum umur
7 tahun tidak bisa masuk ke SD kelas 1, tapi masuk ke persiapan SD
yaitu kelas 0 lagi. Setiap hari full bermain di sekolah, belajarpun cuma
pengenalan angka dan huruf selebihnya cenderung ketrampilan
meningkatkan kreatifitas dan kemandirian. Senang banget sekolah disini
serasa lepas dari semua beban.
Disini kemampuan emosional lebih diutamakan. Terlihat dari mata
pelajaran yang sedikit, tidak ada soal, PR atau ulangan umum. Guru
justru sebagai pendengar atau pembimbing dengan penyampaian materi
secara tersirat. Biasanya anak-anak mengungkapkan pengalaman, kejadian
yang dialami atau apa saja mengenai lingkungan sekitar. Lalu mereka
berdiskusi membahas topik yang dilontarkan seorang murid dan semua
mengemukakan pendapat, guru hanya sebagai perangkum kesimpulan dari
semua pendapat. Kemandirian dan kreativitas lebih ditekankan dengan
ketrampilan dan kesenian. Rasa solidaritas kepada teman, saling berbagi
dan peduli juga ditanamkan dengan diadakan acara outdoor atau belajar di
luar sekolah baik di kebun binatang, taman kotam melihat pertujukan
teatre, pantai, pelabuhan dan tempat yang lain yang berbeda setiap
seminggu sekali.
Dilema antara IQ atau EQ?
Dengan mengalami 2 sistem pendidikan yang jauh berbeda kurikulum dan acuannya membuat kami sebagai orangtua sedikit bingung untuk menentukan pentingnya IQ atau EQ?
Tapi ada beberapa hal yang kami pertimbangkan mengingat hanya 4 tahun
tinggal disini dan selebihnya harus kembali ke tanah air. Kecuali,
syukur-syukur neh cita-cita suami untuk bekerja di luar negeri dan
menetap tercapai..amien. Tapi tetap saja harus dipersiapkan kemungkinan
ketika si kakak kembali di bangsu SD di tanah air. Mengikuti kurikulum
dan semua ketentuan pendidikan yang berlaku disana.
Libur panas 2 bulan hampir berlalu yaitu dari tanggal 18 Juni - 18
Agustus. Selama liburan musim panas kami mengunjungi beberapa kota di
wilayah Skane untuk melihat festival, karnaval, acara summer lainnya
atau hanya sekedar ingin melihat kota itu. Juga sempat ke negeri
tetangga Denmark beberapa kali dengan naik kereta listrik.
Sesekali kalau sedang dirumah atau malas keluar karena hujan, kami
bergantian mengajari dan membimbing si kakak belajar mengikuti kurikulum
di tanah air. Si papa mengajari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), bahasa
Inggris dan mengaji, sedangkan saya membimbing belajar matematika dan
bahasa Indonesia.
Di tanah air, sekarang teman-teman si kakak kelas 2 SD sedangkan si
kakak baru mau naik kelas 1 itupun dengan kurikulum lebih banyak
bermain. Seperti halnya orang perantauan, kami menitipkan sesuatu
kepada teman yang pulang ke tanah air untuk bisa sampai kesini. Kamipun
menitipkan beberapa buku pelajaran SD untuk 2 semester sekaligus, namun
tidak semuanya. Hanya IPA, matematika, bahasa Inggris dan Bahasa
Indonesia. Selebihnya yang sebagian besar hafalan dan lingkungan bisa
kami cari di beberapa silabus pelajaran SD online dan belajar dari
materi tersebut.
Nah, sekarang ada kurikulum baru yang kami tetapkan. Setiap saat selama
liburan, kami terpaksa menjejali si kakak dengan kurikulum SD yang
berlaku di tanah air, supaya tidak banyak ketinggalan kelak sekembali
kesana. Jadi kami menyebutnya belajar dirumah dan bermain di sekolah.
Setelah masuk sekolah si kakak akan “bermain”
di sekolah dan tentu harus belajar di rumah 5 hari seminggu, dari Senin
- Jumat. Sedangkan hari libur (sabtu - minggu) adalah hari ‘kebebasan’.
Karena kalau tidak diberlakukan kurikulum baru itu kasihan si kakak
nanti ‘termehek-mehek’ seperti pengalaman beberapa anak teman
yang mengalami sekolah di luar negeri dan pada akhirnya memilih home
schooling sebagai solusi.
Pada akhirnya perdebatan dan kebimbangan diakhiri dengan satu kesimpulan, bahwa kecerdasan intelektual (IQ) sama pentingnya dengan kemampuan/kecerdasan emosional (EQ).
Pesan Papa dan Mana untuk si kakak: Ayoo kita belajar dan bermain…jangan banyak bermain dan jangan pula banyak belajar..
0 komentar:
Posting Komentar